Selasa, 22 Mei 2012

PROSPEK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI TENGAH
PLURALITAS DAN RADIKALISME BANGSA

I.    Pendahuluan
Pada masa sekarang ini banyak sekali masyarakat yang berangapan bahwa generasi muda yang sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Kenakalan remaja yang berupa perkelahian, pemakaian narkoba dan zat adiktif lainnya, seks bebas, dan bahkan bunuh diri. Kasus kekerasan antar penganut agama dan keyakinan berbeda dan banyak lagi kasus lainnya adalah realita dan sekaligus fenomena. Banyak pihak menuduh pendidikan agama yang diajarkan di sekolah dan madrasah tidak berdaya memerankan diri sebagai perisai bagi perilaku tersebut. Dengan kata lain, pendidikan agama (terutama Islam sebagai agama mayoritas penduduk di Indonesia) telah gagal. Kegagalan itu akan berimbas dipertanyakannya eksistensi pendidikan agama Islam: apakah tetap dipertahankan ataukah diganti dengan matapelajaran atau matakuliah lain sebagai pengganti?  Dalam sisi tertentu, apa yang disebut di atas adalah suatu tantangan. Namun di sisi lain hal itu juga akan menjadi peluang jika disikapi secara cerdas.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang hakikah pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam ditengah pluralitas dan radikalisme bangsa, redefinisi pendidikan agama Islam, posisi pendidikan agama Islam, dan solusi atas pelbagai problem dalam pendidikan agama Islam. Beberapa penjelasan terkait diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar pendidikan agama Islam yang prospeknya dipertanyakan.
Berbicara tentang bagaimana nasib pendidikan agama Islam di era yang serba berubah sudah menjadi menu harian para pemikir Islam dan para penyelenggara pendidikan Islam. Pertanyaannya berkutat pada masalah; apakah pendidikan agama Islam memiliki prospek di tengah perubahan zaman ini? Ataukah pendidikan agama Islam akan mengalami kebangkrutan yang berakibat pada keruntuhannya? Serta pertanyaan lain yang secara substansi mempertanyakan eksistensi dan prospek pendidikan agama Islam ke depan. 
II.    Rumusan Masalah
Dari pendahuluan diatas dapat kita tarik beberapa permsalahan yang ada kaitanya dengan pluralitas dan radikalisme bangsa dalam prospek pendidikan agama islam :
1.    Bagaimanakah redefinisi pendidikan agama islam ?
2.    Apakah pendidikan agama islam memiliki prospek ditengah pluralitas dan radikalisme bangsa ?
3.    Bagaimanakah posisi pendidikan agama islam dalam berbagai permasalahan yang ada ?

III.    Pembahasan
A.    Redefinisi Pendidikan Agama Islam
Selama ini, pendidikan agama Islam sering dianggap sama dengan pendidikan Islam. Akibatnya banyak hal yang kemudian menjadi rancu karena tidak tepatnya penggunaan kedua istilah yang saling berdekatan dan tak terpisahkan namun berbeda tersebut. Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. “pendidikan agama” tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian “pendidikan agama” yang dikenal dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah; jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan; namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus disempurnakan.
Kata ad-din digunakan untuk menunjukkan lebih dari satu makna, diantaranya adalah: Pertama, makna kekuasaan, otoritas, hukum, dan perintah. Kedua, makna ketaatan, peribadatan, pengabdian, dan ketundukan kepada kekuasaan dan dominasi tertentu. Ketiga, hukum, undang-undang, jalan, maz\hab, agama, tradisi, dan taklid. Keempat, balasan, imbalan, pemenuhan, dan perhitungan. Dalam pandangan Abdurrahman An-Nahlawi, orang Arab biasa menggunakan kata ad-din dalam makna tertentu untuk satu kesempatan dan makna lain dalam kesempatan lain. Artinya, pemakaian bahasa mereka sangat variatif karena disesuaikan dengan konteks kebutuhan yang terjadi. Dengan demikian, kata ad-din bersifat ambigu. Setelah al-Qur’an turun, istilah ad-din mengalami kejelasan makna dengan tetap bersandar pada empat etimologis di atas. Makna yang dimaksud adalah yang menguasai dan memiliki otoritas yang tinggi (ilahiah); ketaatan dan pengakuan terhadap kekuasaan dan otoritas dari pengikut ad-din; sistem berpikir ilmiah yang dilahirkan dari sistem otoritas dan kekuasaan; dan imbalan yang diberikan secara penuh oleh pemegang otoritas kepada pengikut sistem melalui ketundukan dan keikhlasan atau balasan karena tidak menaati sang pemegang otoritas.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, agama adalah meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh rida atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di Hari Kemudian.
Jadi Pendidikan Agama Islam yang dimaksud si sini adalah pendidikan agama yang diselenggarakan di atau oleh sekolah umum dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dengan tujuan mengajarkan dan mendidik serta menanamkan nilai-nilai keislaman sehingga peserta didik diharapkan mampu menjadi seorang Muslim yang memiliki pengetahuan dan amaliah secara kaffah. Muslim kaffah dimaksud adalah seorang Muslim yang mengerti hak serta kewajibannya untuk berbakti kepada Allah dan berbuat baik kepada seluruh makhluk-Nya.

B.    Posisi Pendidikan Agama dalam Perdebatan
Namun seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan merosotnya moralitas dan itu selalu dikaitkan dengan kegagalan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, apalagi setelah pemerintah Indonesia bersikeras ingin menetapkan sistem pendidikan nasional yang diantaranya disebutkan tentang pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, maka kemudian timbul pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi antara yang mendukung pelaksanaan sistem pendidikan agama dan menyatakan bahwa pendidikan agama harus tetap ada di sekolah dan di pihak yang lain menghendaki pendidikan agama dikembalikan ke rumah saja; atau diubah dengan pendidikan religiusitas yang multikulturalis dalam pengertian pendidikan agama secara umum (bukan hanya satu agama); atau diganti dengan pendidikan budi pekerti (moralitas).
Terlepas dari tarik-menarik antara kelompok yang setuju pendidikan agama diajarkan di sekolah dengan kelompok yang menolak, pada kenyataannya pendidikan agama sejak masa pasca kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Baru telah mendapatkan perhatian yang cukup besar. Perhatian itu tidak saja dari segi legalitas hukum, akan tetapi kebijakan politik yang berupa pemberian dasar hukum bagi pelaksanaan pendidikan agama berimplikasi terhadap penyediaan tenaga pengajar, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya. Struktur organisasi pada Departemen Agama dari pusat hingga pada level yang paling rendah juga menunjukkan adanya perhatian terhadap pendidikan agama tersebut.
1.    Pendidikan Agama Dikembalikan ke Keluarga?
Isu yang berkembang belakangan ini bersamaan dengan berjalannya proses pengesahan draf Pasal 12 Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang di antaranya menyangkut tentang pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan sekolah—adalah bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah.
Usul yang dikeluarkan beberapa orang tokoh, Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur di antaranya, bahwa pendidikan agama dikembalikan saja ke rumah, kepada keluarga. Dalam pandangan Gus Dur, pendidikan agama yang ada di sekolah dipandang tidak efektif mengarahkan atau mencetak generasi yang bermoral baik.  Sedangkan tokoh pendidikan lainnya, Nasikun, memandang perlunya pendidikan agama dikembalikan kepada lembaga agama masing-masing.
Maka negara, melalui sekolah-sekolahnya, dalam alur pemikiran Magnis, sebaiknya menawarkan kemungkinan pelajaran agama, bagi semua murid dari semua agama, adalah keputusan politik. Bisa saja, seperti di banyak negara, pelajaran agama diserahkan kepada umat beragama masing-masing. Tetapi, bila banyak warga masyarakat menginginkan kemungkinan pelajaran agama di sekolah negara, negara dapat menawarkannya. Tetapi bukan mewajibkannya.
2.    Pendidikan Budi Pekerti atau Religiusitas: Pengganti Pendidikan Agama ?
Hal lain yang dijadikan isu adalah penggantian pendidikan agama oleh pendidikan budi pekerti yang oleh Paul Suparno ditempatkan sebagai wahana pembelajaran kognitif akan nilai-nilai.  Bagi Islam, pendidikan etika yang dalam Islam disebut dengan akhlak saja tidak cukup, kurang komprehensif, mengingat yang dihadapi manusia bukan sekedar bagaimana berhadapan dan bersikap dengan manusia lain tapi juga dengan diri sendiri dengan segala problematika fisik dan psikis. Dalam Islam ajarannya dinamakan dengan syari’at yang berarti jalan. Syari’at tidak sama dengan fikih karena fikih hanyalah produk hukum Islam, bagian dari syariat.

C.     Inklusivitas Ajaran Islam: Jawaban PAI terhadap Krisis di Indonesia?
Menghadapi permasalahan yang sedemikian kompleks di Indonesia ini, maka materi Pendidikan Agama Islam dengan mengedepankan inklusivitas ajaran Islam yang itu menjadi karakter ajaran Islam itu sendiri--dalam berbagai hal akan bisa menjadi jawaban dan sekaligus solusi problematika keumatan dan bangsa di masa depan. Artinya, inklusivitas Islam tersebut harus benar-benar terintegrasi ke dalam materi Pendidikan Agama Islam di sekolah.
Inkusivitas Islam itu sendiri jika merujuk kepada ajaran Islam berupa sumber normatifnya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sumber historis keberagamaan umat Islam, maka setidaknya meliputi beberapa hal mendasar yaitu:
1.    Inklusif terhadap Pluralitas
Dalam Kitab al Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
2.    Prinsip Egalitarian Islam
Prinsip egaliter Islam itu secara langsung dicontohkan oleh nabi Muh}ammad yang meskipun memiliki posisi sangat istimewa, seperti diungkapkan oleh Marshall G. S. Hodgson bahwa Muh}ammad tampak telah menjalani suatu kehidupan yang sederhana dan bersahaja, tanpa sedikitpun kemewahan; pada umumnya beliau bisa dihubungi dengan mudah oleh, dan bersahabat dengan, kelompok yang paling rendah, senang tersenyum dan tertawa kecil dan senang anak-anak.
3.    Prinsip Humanisme Islam
Sebagai sebuah aliran atau gerakan yang menekankan urgensi keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan, humanisme adalah suatu hal yang tidak asing bagi Islam, atau bahkan satu hal yang pada dasarnya tidak terpisahkan dari Islam itu sendiri sebagai sebuah ajaran hidup bagi umat manusia. Kemunculan Islam itu sendiri adalah untuk membela hak-hak manusia itu sendiri.

D.    Urgensi Integrasi Inklusivitas Islam dalam PAI
Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas ajaran Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan jangan sampai terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam hal-hal teori tentang pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah meskipun tetap dengan semangat yang mengkritisi setiap interpretasi terhadap kedua sumber tersebut.
Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap pertengahan di antara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap pluralitas: yang menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima pluralitas mentah-mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bencana yang membawa pada perpecahan sehingga pluralitas harus dihilangkan dan keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal tersebut dapat dilihat pada “totaliterisme Barat” yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu. Pandangan manusia yang menerima pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikit pun. Hal ini terlihat pada model “liberalisme Barat” di banyak negara. Sikap Islam yang moderat, yang menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam terhadap beragam maz\hab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau keseragaman syariat Islam.

IV.    Kesimpulan
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. “pendidikan agama” tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian “pendidikan agama” yang dikenal dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah; jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan; namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus disempurnakan
Pluralisme agama di dalam materi Pendidikan Agama Islam dengan demikian menjadi urgen mengingat kasus-kasus pertikaian, pembunuhan, terror, ancaman yang terjadi antar pemeluk agama masih banyak didengar dan dilihat dalam bentuknya yang vulgar. Kondisi yang demikian akan memberi pengaruh bagi pemeluk agama terhadap eksistensi agama itu sendiri, dan bahkan mungkin pula akan berakibat kepada adanya pendangkalan agama karena turun drastisnya respek seseorang terhadap agama itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA
Nurcholish Madjid. 2002. dalam Pendidikan Agama dan Akhlak bagi Anak dan Remaja. Logos Wacana Ilmu: Jakarta
Abdurrahman an-Nahlawi. 1995. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’. Terj. Ind. Shihabuddin. “Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.” Gema Insani Press: Jakarta
Nurcholish Madjid. 2000. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. II. Paramadina: Jakarta
Nasikun. 2003. Sisdiknas Kontraproduktif, dalam Kedaulatan Rakyat 20 April 2003 Tahun LVIII
Paul Suparno dkk. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Cet.I. Kanisius: Yogyakarta
Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kristis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Cet.IV. Paramadina: Jakarta. xxv
Marshall G. S. Hodgson. 2002, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik Islam, Cet.II. Paramadina: Jakarta
Karen Armstrong. 1996. Muhammad,A Biography of the Prophet. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar